Posted in Fanfiction

Late Night Phonecall

keimin-ulalalalala.jpg

Late Night Phonecall © burritown

Kim Jiyeon, Park Jimin

Romance, Drama?

Rating T

Vignette (1.428 Words)

Warn! AU, Typo(s), Out Of Character(s), (un) beta-ed, e.t.c

P.S: I didn’t own anything except the plot. Yet I ain’t get any advantages from this fic

Kim Jiyeon mendadak seperti sebuah setrika, berjalan hilir mudik semenjak sepuluh menit yang lalu. Sambil menggigit kecil kuku jemarinya tanpa peduli hal itu akan merusak cat kuku warna peach yang baru saja Jiyeon dapatkan dua hari yang lalu di salon kecantikan—itu tidak penting, sungguh!—. Netra cokelat madunya terus mengamati benda elektronik persegi panjang yang terabaikan di atas ranjang dengan cukup serius, menimbang apakah Jiyeon harus mengambil benda itu, atau tidak.

“Haruskah Aku menghubunginya? Selarut ini?” kembali berjalan hilir mudik untuk kesekian kali, ekor mata Jiyeon menatap jam dinding yang telah menunjukkan pukul empat lebih tigapuluh menit—oke, mungkin sekarang hampir waktunya makan malam bagi Jiyeon, tapi tetap saja di belahan bumi yang lain (terutama tempat lelaki itu berada) sedang asik menikmati bunga tidur mereka.

Tanpa sadar, sebelah tangan Jiyeon meraih ponsel hitam tersebut dan mulai memencet tombol hijau di nama kontak yang tertera. Terdengar suara beep dari seberang, pertanda panggilannya telah terhubung. Dalam hati Jiyeon menyumpahi tindak laku cerobohnya dan berharap tidak ada jawaban dari yang bersangkutan.

Suara beep kembali terdengar, panggilannya kini sepenuhnya terhubung—dan Jiyeon berhasil menyumpahi tindakan idiotnya.

Halo, ini Jimin.” Suaranya terdengar sedikit sumbang. Sepertinya terbangun karena panggilan Jiyeon.

Bagus, Kim Jiyeon. Kau baru saja membangunkan Jimin.

“Hai, ini Aku.”

Oh. Hai, Aku.” Nada suaranya menjadi lebih tinggi sedikit, “Semuanya baik-baik saja?

Ah, dia sungguh merindukan suara cempreng tersebut.

Jiyeon tidak segera menjawab. Gadis itu menggigit bibir bagian bawahnya, menimbang apakah keputusannya sudah tepat untuk menelpon Jimin nyaris pagi buta seperti ini (oke, secara teknis di tempat Jimin saat ini telah larut malam), dan mengganggu waktu tidur laki-laki duapuluh dua tahun itu.

Kei? Kau masih disana?

“Umm, ya?” Jiyeon tersadar dari lamunannya.

Ada apa? Tidak biasanya kau menelpon selarut ini.” Oh, sekarang terbesit nada khawatir dalam suaranya. Membuat Jiyeon semakin diselimuti perasaan bersalah.

Jiyeon menggelengkan kepala, walaupun dia tahu kalau Jimin tidak akan mampu melihatnya, “Aku membangunkanmu, ya?”

Iya, dan tidak—oke, itu tidak penting, sungguh. Apa terjadi sesuatu, hm?

Jiyeon menghempaskan bokongnya di tepi ranjang, mengambil boneka panda medium pemberian Jimin ketika ulang tahun nya beberapa bulan yang lalu dan memeluknya cukup erat. “Bukan apa-apa.”

“Aku merindukanmu, Chim.” Kalimat itu terucap begitu saja dari mulut Kim Jiyeon. Menimbulkan suara batuk-seperti-tersedak di seberang—sukses membuat raut muka Jiyeon berubah cemas dalam sekejap.

“Jimin-aa, kau baik-baik saja?”

Aku oke—uhuk!—hanya sedikit tersedak saja, tidak usah khawatir.

Hening selama beberapa menit. Hanya terdengar suara gerimis hujan dari luar jendela kamar Jiyeon, dan helaan napas Jimin di seberang telepon. Gadis itu semakin memeluk erat boneka panda nya.

Sudah nyaris lima bulan semenjak Jiyeon dan Jimin saling berkomunikasi lewat sosial media—terkadang mereka melakukan video call dengan memanfaatkan Skype. Jarak yang beribu kilometer membuat mereka harus merasakan manis-pahitnya Long Distance Relationship. Tak ada yang namanya berpegangan tangan, apalagi berkencan. Asalkan mampu mendengar suara Jimin di seberang saja Jiyeon sudah bersyukur—cintaku terhalang luasnya samudera, kata banyak orang di luar sana.

Kei. Maafkan Aku.” Suara cemprengnya kembali memecah keheningan yang telah tercipta.

“Untuk apa?”

Karena telah membuat kita harus merasakan hubungan jarak jauh seperti sekarang.

Jiyeon membentuk kurva cekung di kedua sudut bibirnya. Kali ini dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, sedikit meringkuk ke kanan mencoba meredam suara hujan di telinganya.

“Tidak. Semuanya bukan salahmu, Chim. Justru Aku iri karena kau mampu mendahuluiku untuk mendapatkan beasiswa satu tahun ke London, eh?” Jemari Jiyeon mengusap bulu halus nan lembut boneka panda nya, “Disana pukul berapa?”

Satu lewat tigapuluh menit dini hari—

“Dan kau terbangun gara-gara panggilan dariku. Maaf, Aku sudah mengganggu waktu tidurmu yang berharga.”

Bukan masalah. Di Seoul semuanya baik-baik saja, bukan?

“Un. Aku masih tetap menjadi konsultan pribadi Sujeong ketika anak itu mempunyai masalah dengan Taehyung, dan setia mengajari Jungkook ilmu alam. Sebentar lagi dia ikut suneung*.”

Wow, anak itu sungguh tahan dengan kepribadian 4D Taehyung, tidak heran. Dan kuharap kau tidak jatuh hati pada bocah tengil itu.

Jiyeon terkekeh pelan mendengar jawaban dari seberang. Membayangkan ekspresi muka Jimin yang ditekuk jelek ketika (terdengar) sedang cemburu memang mampu membuat moodnya naik secara bertahap. Senyumnya kembali mengembang.

“Asal kau tahu, Jungkook memberiku sebuket bunga mawar tempo hari. Bukankah itu sangat manis?”—dan Jiyeon tak mampu menahan egonya untuk menggoda Jimin lebih jauh lagi.

Kei! Sudah kubilang jangan jatuh hati dengan bocah tengil itu. Dia sedang mencoba memanipulasi pikiranmu.” Suara Jimin naik beberapa oktaf, membuat Jiyeon harus menjauhkan ponsel sejemang untuk mengurangi kerusakan mendalam di telinganya. Serius, Jiyeon tidak ingin menjadi tuli di usianya yang masih tergolong muda.

“Jangan berteriak, Park Jimin.”

Aku akan memberikanmu buket bunga yang jauh lebih indah dari Jungkook, tunggu saja.

“Dengan senang hati—dan asal kau tahu, Aku hanya menganggap Jungkook sebagai adik kecilku, tidak lebih. Jadi redam dulu emosimu, tuan Park.” Terkadang Jiyeon harus menahan tawanya supaya tidak meledak ketika Jimin mulai menunjukkan sikap tidak-ingin-kalah nya.

Tetap saja. Pokoknya kau harus lebih memperhatikan Aku daripada Jungkook si bocah tengil itu. Kau kan kekasihku.

“Kekanakan sekali.”

Park Jimin tak ada bedanya dengan seorang bocah usia belasan tahun yang baru saja mengalami pubertas. Lucu, menggemaskan, dan terkadang menyebalkan dengan sikap kekanakannya yang kelewat batas? (walaupun Jiyeon pribadi masih tetap menyukai Park Jimin apa adanya).

“Jungkook ingin kuliah kedokteran, katanya.” Kendati Jiyeon tak berhenti mengangkat anak bungsu keluarga Jeon sebagai bahan obrolan. Dia yakin, Jimin sebenarnya sangat peduli dengan bocah itu—walaupun laki-laki itu tak menunjukkan afeksinya secara langsung—. Park Jimin adalah penggambaran nyata dari sosok malaikat.

Serius? Jungkook? Kuliah kedokteran? Otaknya masih waras, kan?

“Aku juga terkejut ketika mendengarnya. Dia bilang ingin menyembuhkan orang-orang yang sakit di sekitarnya supaya mampu melihat senyum mereka lagi. Bukankah anak ini menggemaskan, hm?”

Oke. Kupikir otak bocah itu sudah bergeser cukup jauh—” Jimin berdehem sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya, “Tapi Aku bangga. Setidaknya Jungkook sudah mengetahui tujuan hidupnya.”

“Kau benar.”

Nah. Kita sudahi pembahasan tentang Jungkook disini. Kau semakin membuatku cemburu karena jadi lebih dekat dengan bocah itu ketika Aku tidak berada di Seoul.” Jiyeon mampu membayangkan Jimin sedang mengerucutkan bibirnya di seberang sana. Bahkan nada suaranya terlihat sebal, benar-benar sosok yang menggemaskan.

“Ngomong-ngomong, bagaimana London? Menyenangkan disana, eh?” Jiyeon meringkuk ke kiri, ekor matanya menilik jendela kamar yang langsung menghidangkan dunia luar. Oh, rupanya hujan telah berhenti beberapa saat lalu.

“Fantastic! Aku bahkan bisa melihat Big Ben dari apartemen tempatku singgah.

Jiyeon sedikit mengerutkan dahinya, “Wow, Park Jimin. baru beberapa bulan di London kau sudah berlagak menggunakan bahasa Inggris. Aku benar-benar iri tahu.”

Percayalah, teman-temanku disini cukup membantu.

Terdengar suara kekehan kecil dari seberang. Ah, bahkan Kim Jiyeon mampu membayangkan raut muka Jimin yang tampak cukup menggemaskan  di benaknya sekarang. Ugh, sepertinya Jiyeon memang sedang mengidap penyakit rindu yang cukup kronis—sampai membayangkan ekspresi muka Park Jimin lebih dari sekali.

“Sombong sekali, tuan.”

Terimakasih.

“Itu bukan pujian, Chim.”

Aku menganggapnya pujian kalau kau yang mengucapkannya.

“Terserah.”

Jiyeon tidak ingat kapan terakhir kali dia merasa nyaman dan terhibur semenjak Jimin terbang ke london pertengahan musim panas lalu. Tidak, bukan berarti Jiyeon tidak nyaman ketika berkumpul bersama koleganya di kampus. Dia nyaman, kok. Bahagia juga. Hanya saja, kenyamanan yang diberikan oleh Park Jimin berbeda.

“Jiyeon-aa, waktunya makan malam.” Suara Kim Mindi terdengar samar dari luar kamar, setindak kemudian sosok wanita yang lebih tua itu muncul di balik kusen pintu dengan apron polkadot yang masih melekat di tubuhnya. Sepertinya wanita itu baru selesai memasak.

Mindi sedikit menurunkan volume suaranya ketika menyadari adik perempuannya sedang menggenggam benda elektronik persegi panjang, “Menelpon siapa?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut wanita yang lebih tua beberapa tahun.

“Jimin. Eonnie makan duluan saja, sebentar lagi Aku menyusul.” Dan jawaban Jiyeon sukses memunculkan kurva cekung yang cukup misterius di balik wajah wanita sulung keluarga Kim. Anak muda yang sedang kasmaran, eh?.

“Jimin-aa, Aku harus makan dulu.

Sebentar saja. Aku ingin mendengar suaramu lebih lama lagi.

“Terlalu cheesy, tuan. Lagipula, bukankah kau harus tidur sekarang, hm?” Jiyeon melirik jam dinding di salah satu sisi kamarnya yang menunjukan pukul lima lewat tigapuluh menit. Kiranya Jiyeon menghubungi Jimin sekitar satu jam lamanya—wow, rumor yang mengatakan bahwa waktu akan berlalu begitu cepat ketika kau menghabiskannya dengan orang terkasih sepertinya benar—. Padahal Jiyeon rasa baru beberapa menit yang lalu dia menghubungi pemuda Park itu.

Hening selama beberapa jenak.

Kau benar. Kalau begitu sampai jumpa besok, Jiyeon-iie.”

“Ya. Sampai jumpa. Jaga kesehatanmu, Jimin-aa.”

Tentu. Aku merindukanmu. Dan akan selalu merindukanmu, Kim Jiyeon.

.

.

.

FIN

Finished on 2016 February 27th, 12.56 PM

Also Posted On Lovelyz Fanfiction Indonesia

.

.

.

Vocabulary: *Suneung = Ujian masuk perguruan tinggi (macem sejenis SBMPTN kalau di Indonesia XD)

A/N:

Ya ampun, karya macam apa ini? Sama sekali jauh dari kata manis dan unyu :””) /dlosor/ Idenya juga pasaran, pake banget, lmao. Padahal tuh, niat awal pengen bikin fic manis ala-ala pasangan yang LDR-an—tapi malah berujung mba Jiyeon yang curhat tentang Jungkook :”)—yha, anggap saja di cerita ini Jungkook itu sepupu kesayangannya Jimin, dan Jimin minta tolong ke Jiyeon buat ngajarin Jungkook gegara bocah satu ini kelewat sering main-main daripada belajar XD hayoloh, Jeon…

Niatnya sih, Aku mau bikin fic bersambung buat pairing OTPku yang lainnya, tapi (kebanyakan tapinya, nih) takut nanti malah amburegul ameseyu :”) #AuthorKebanyakanHutang

Yeps, terakhir, shalom!

P.S: apalah itu posternya malah gak ada hubungannya sama sekali dengan alur fic :”)

Author:

bangtan and lovelyz enthusiasts | S from Sougo stands for Sadist and Ship(s)

Leave a comment